Bencana iklim menjadi alasan kuat untuk menggelontorkan pendanaan besar di sektor energi.
Bencana iklim — yang lantas disusul narasi pengurangan emisi karbon — dimainkan untuk mengerahkan investasi pembangunan infrastuktur energi terbarukan. Bencana iklim nyata dan memberikan ancaman bagi kehidupan, sekaligus menghadirkan ancaman bagi bisnis energi. Dan yang terakhir tampaknya harus segera diselamatkan.
Koridor-koridor energi terbarukan pun dirancang: pulau mana wilayah untuk tambang nikel buat mengembangkan baterai, pegunungan mana wilayah untuk eksplorasi panas bumi buat membangun pembangkit geothermal, daratan luas mana tempat memasang solar paner raksasa, dan hutan-hutan mana tempat memproduksi sumber energi biomassa.
Semua koridor energi ini direncanakan dalam skala ekstrem. Ekstrem dari segi jumlah pembangkit, dari segi kapasitas, dan dari segi ekstraksi sumber daya alamnya, dan ekstrem dari segi pengerahan pendanaannya.
Semua ingin dibangun dalam skala gigantik, besar, luas dan dikerjakan dalam waktu yang nyaris serempak, lengkap dengan tahun-tahun target realisasinya.
Pengerahaan secara ekstrem ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada transisi energi. Namun mengatakan tidak ada transisi energi sepertinya kurang tepat dan suatu kesimpulan yang melompat.
Transisi energi ada, setidaknya dalam pengertian teknis. Peralihan dari penggunaan satu sumber energi ke sumber energi lain, atau dari satu jenis teknologi ke jenis teknologi lain untuk eksplorasi energi. Pembangkit batu bara akan diganti biomassa, dan kini secara bertahap sedang dicoba dengan cara mencampur keduanya dan disebut PLTU co-firing. Batu-bara juga sedang coba digasifikasi dengan mengubahnya menjadi bentuk liquid. Agar tidak bergantung pada bahan bakar fosil, kendaraan-kendaraan bermotor ditenagai dengan listrik yang tersimpan dalam baterai.
Ada. Transisi energi ada. Sebagian kalangan percaya itu ada sehingga berusaha mengawalnya. Macam-macam yang ingin dikawal. Kelembagaan pemerintah sepertinya perlu didampingi agar suara masyarakat sipil didengar dan mereka tak berlaku sewenang-wenang. Di sana, di lembaga keuangan, tampaknya butuh dipastikan supaya transparan dan pendanaannya tepat guna. Di sudut lain, ada kalangan yang tergerak untuk mengawal supaya partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan tersedia. Kalangan lain akan mengawal hukumnya, atau mengawal HAM-nya, atau mengawal perbincangan di media dan lainnya lagi dan seterusnya. Mereka yang percaya menjadi pengawal, pengawas atau pemantau menyebar di banyak sudut.
Tapi transisi energi ada sekaligus tidak ada. Tidak ada perubahan sistemik dari ekonomi-politiknya. Eksplorasi sumber energi terbarukan, kata beberapa kajian, sudah sejak dari sananya dikerjakan, dikelola dan diperebutkan seperti fosil. Negara-negara adidaya — atau sebutlah kekuatan imperialis lama seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa, kemudian kekuatan ekonomi raksasa baru seperti China — baku rebut untuk memonopoli, untuk lebih dulu mencengkeramkan investasinya dan di antara mereka saling blokade kepentingan bisnis. Dari sini, muncullah sebutan fossilizing renewable energy untuk menyebut betapa ekonomi-politik energi terbarukan merupakan ekonomi politik energi fosil.
Ekonomi Politik Fosil
Apa itu ekonomi politik energi fosil?
Ini menuntut pembahasan sejarah yang panjang, tapi mari kita ringkas obrolan tentangnya.
Penggunaan sumber energi fosil menandai babakan sejarah kapitalisme, keragaman rezim sosial dan inovasi teknologinya. Batu-bara menulis sejarah revolusi industri di Inggris dan sejarah imperialisme sepanjang 1877–1925. Eksplorasi minyak dan gas menceritakan dominasi imperialisme Amerika, otomobilisasi, dan kontrol buruh yang lebih mutakhir. Eletrifikasi — yang sumbernya dari pembakaran batu bara — menggores babakan integrasi sistem sosial kapitalisme industrial ke ranah yang sangat domestik, perluasan pabrik menjadi pabrik sosial dalam bentuk paling lebih mutakhir lagi.
Singkatnya penggunaan energi fosil untuk melancarkan ekspansi industri kapital. Energi fosil mudah diangkut. Berbeda dengan air atau udara atau matahari yang tidak bisa diangkut, dan ketersediaannya bergantung pada musim. Energi fosil tidak. Energi fosil dikapalkan atau disalurkan melalui pipa-pipa dari lokasi ekstraksinya ke pusat industri untuk mengoperasikan pabrik-pabrik siang malam, untuk menyalakan pusat-pusat bisnis tiada henti, untuk menghidupkan kota-kota besar tempat segala “kemajuan peradaban” memamerkan diri.
Di tangan siapa kendali pabrik-pabrik itu, pusat-pusat bisnis itu?
Ya, sejak dari awal, energi fosil digunakan untuk memusatkan dominasi politik-ekonomi pada segelintir kekuatan. Sejak dari sana, energi fosil diburu dan dicari karena kebutuhan untuk mengatasi “kendala-kendala politik” seperti perlawanan para buruh, petani dan negara-negara terjajah. Sejak dari sananya, penggunaan energi fosil untuk memaksa buruh bekerja lebih banyak, lebih intens, dan dengan upah lebih murah.
Sejak dari awal, energi fosil digunakan bukan berdasarkan pertimbangan bahwa ia bahan bakar terbaik, melainkan lebih-lebih karena energi fosil paling cocok untuk mengembangkan pengaturan politik ekstraktif.
Pengaturan politik ekstraktif (extractive political governmentality) berjalan dengan dua kaki: dominasi dan eksploitasi. Yang pertama, berada di ranah politik, sehingga ini tentang distribusi kekuasaan politik: tentang siapa mengatur dan diatur. Sementara yang terakhir menempati ranah ekonomi, yang mana ini terjadi pada aras proses produksi dan hubungan-hubungannya di dalamnya: tentang siapa bekerja dan siapa yang menikmati hasil kerja.
Kedua kaki ini, dominasi dan eksploitasi, berjalan dalam suatu hubungan ekspresif: modalitas dominasi “merefleksikan” modalitas eksploitasi. Dengan kata lain, eksploitasi merupakan hubungan antagonistik yang reproduksinya membutuhkan pengerahan dominasi politik tertentu.
Energi fosil mentenagai dominasi dan eksploitasi ini agar bisa berjalan. Mengeruk sumber daya alam sebanyak mungkin dan mempekerjakan buruh semurah mungkin. Mengatur hukum-hukumnya supaya perambahan dan perampasan mereka terlindungi, mengutus aparat kemananannya supaya tak ada perlawanan atau ada perlawanan tapi lekas dipadamkan, hingga mengatur media, intelektual dan lainnya supaya hanya ada satu gagasan dominan tentang energi. Seperti bahwa energi membawa kemajuan dan kita, semua manusia, membutuhkannya.
Dengan kata lain, energi fosil berjalan dengan dua kerja kuasa politik: kuasa atas alam dan kuasa atas manusia.
Itulah ekonomi-politik energi fosil.
Dengan energi fosil, kapital industri meluas dan merambah ke mana-mana.
Mengkonsentrasikan produksi nilai-lebih di dalam pabrik-pabrik skala besar di perkotaan.
Menjangkau wilayah-wilayah yang menyediakan tenaga kerja murah.
Menciptakan geografi ekonomi baru.
Memainkan peran penting dalam ekspansi geografi kapital.
Energi fosil menjadi penggerak utama (prime mover) untuk menopang perluasan reorganisasi ruang bagi akumulasi nilai-lebih.
Dan demikianlah. Bahasa kita hari ini tak pernah keluar dari perangkap bahasa fosil.